Mahfud MD menjernihkan kasus dilengserkannya GUSDUR dari kursi Presiden RI
Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD menjernihkan kasus dilengserkannya KH Abdurrahman Wahid dari kursi Presiden RI pada Forum Jumat Pertama Gusdurian Jakarta di aula Wahid Institute, Matraman, Jakarta, pada Jumat malam, (04/01).
Mahfud membidik dari segi hukum, yaitu pidana dan tata negara. Ia menjernihkan kasus Bulog dan Brunei. Gus Dur dituduh korupsi dalam kasus tersebut.
Baca juga :Humor Gusdur paling lucu,bikin raja arab tertawa
Baca juga :Humor Gusdur paling lucu,bikin raja arab tertawa
“Korupsi itu menyangkut urusan pidana, dan tidak terbukti di pengadilan. Kejaksaan Agung membuat surat yang menyatakan Gus Dur tidak terlibat dalam kasus Bulog itu,” katanya. Lalu kasus Brunei. Menurutnya, ini tidak ada kasus hukumnya karena uang tidak diminta oleh negara kepada negara lain dan bukan diberikan oleh negara lain kepada negara Indonesia. Itu semacam zakat yang disalurkan secara materil. Salah satunya ke Yayasan Aswaja di Aceh. “Dengan demikian, kasus Brunei juga, Gus Dur bersih, sehinngga pada saat bersamaan, kasus Bulog itu kan Kejaksaaan Agung menyatakan Gus Dur tidak terlibat.”
Tapi, kasus hukum tata negara bicara lain. Perlu diketahui, hubungan Gus Dur dengan DPR dan partai-partai sedang panas karena Gus Dur memberhentikan beberapa mentri. Polemik semakin panas ketika Gus Dur mengajukan penghapusan TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966.
Pada sidang tahunan, DPR kemudian membentuk Pansus berdasar hukum tata negara yang mengatakan bahwa Gus Dur telah menyalahi hukum tata negara karena dianggap telah melanggar haluan negara (GBHN).
Ketika Gus Dur dihadapkan dengan Pansus, Gus Dur melawan. Menurut Gus Dur Pansus langsung bekerja tanpa didaftarkan dulu dalam berita negara Republik Indonesia. Gus Dur mendasarkan diri pada undang-undang yang menyatakan Pansus itu harus didaftarkan dulu. “Karena itulah Gus Dur tidak mau dipanggil dan memberikan keterangan.” Pada pada tanggal 1 Februari 2001, DPR mengeluarkan Memorandum I. Isinya, Presiden Abdurrahman Wahid “patut diduga” dalam kasus Bulog dan Brunei.
Ini sebenarnya, secara hukum tata negara salah, karena menurut Tap MPR No 3, seorang baru bisa dijatuhi memorandum itu kalau presiden “benar-benar” melanggar haluan negara. Sementara isi memorandum itu hanya “patut diduga”.”
Mahfud menambahkan, dalam Memorandum I itu disebutkan presdien harus mengubah kebijakan dalam waktu tiga bulan.
“Nah, kita bertanya, kebijakan apa yang mesti diubah. Uang sudah keluar, orang sudah dihukum, proses pengadilan berjalan. Itu pertanyaan yang diajukan dalam jawaban Memorandum I. Tapi, karena orang sudah marah, dijatuhkan juga Memorandum II.”
Proses dilengserkannya Gus Dur
Gus Dur memecat Bimantoro dari Kapolri pada tanggal 20 Juli 2001. Kemudian diganti Chairudin Ismail tanpa persetujuan DPR. Karena itu, Gus Dur disalahkan karena Tap MPR No 7 mengatakan pemecatan Kapolri harus dengan persetujuan DPR. Menurut Gus Dur, pemecatan itu sudah mendesak.
MPR kemudian mengundang Gus Dur untuk hadir pada tanggal 23 Juli 2001untuk mempertanggunggjawabkan pemecatan itu. “Jadi, sudah bukan kasus Bulog dan Brunei lagi,” tegas Mahfud.
Gus Dur tentu tak mau hadir karena undangan sudah berubah dari undangan Bulog dan Brunei menjadi pemecetan Kapolri dalam waktu singkat. Alasan Gus Dur sederhana karena MPR mengundangnya dengan “sewenang-wenang”.
Gus Dur kemudian melawan dengan mengeluarkan maklumat di tengah malam yang berisi membubarkan MPR.
Malam itu juga MPR meminta fatwa kepada Mahkamah Agung. Jelas Gus Dur salah. Tapi pada waktu itu, permainannya menurut Gus Dur, yang melanggar konstitusi terlebih dahulu adalah MPR.
Di sisi lain, undangan sidang MPR besoknya bergerser lagi ke kasus pembubaran MPR. Padahal sebenarnya kalau menggunakan alasan pemecatan Kapolri harus Memorandum I lagi. Tapi dalam waktu sehari dan beberapa jam berubah.
“Nah, saya ingin mengatakan baik secara hukum pidana maupun tata negara, Gus Dur tidak jatuh kasus Bulog dan Brunei. Penjatuhan Gus Dur itu adalah persoalan pertarungan politik dimana yang satu kalah yang satu menang. Bukan soal hukum yang satu benar, yang satu kalah. Dan Gus Dur kalah dalam pertarungan politik itu, karena dikeroyok rame-rame.”